Tanggung Jawabmu, Harapan Kami



Salaam,
             
Ingat ketika kita masih kecil banyak orang tua menanyakan, “besok kalau sudah besar mau jadi apa?” dan kita dengan lugunya menjawab, “jadi dokter”, “jadi insinyur”, “jadi pilot”, “jadi presiden”, dan sebagainya. Entah bagaimana para orang tua dengan begitu senangnya mendoktrin anak-anaknya untuk menjadi orang-orang seperti di atas. Bisa jadi karena menurut mereka profesi-profesi di atas banyak menghasilkan uang atau memang seharusnya anak-anaknya menjadi salah satu dari doktrin tersebut karena pengabdian. Kalau menurutku sih alasan pertama yang lebih masuk akal.
Dari beberapa doktrin profesi yang diberikan orang tua zaman dulu pada anak-anaknya, kebanyakan mereka lebih condong mengarahkan anaknya untuk menjadi seorang dokter dengan alasan agar hidupnya lebih layak, tentunya selain alasan agar bisa mengobati orang banyak. Ada berjuta orang tua menginginkan anaknya menjadi dokter, tapi sayangnya pada kenyataannya tidak sesuai dengan yang diinginkan para orang tua tersebut. Selain faktor ekonomi, dimana biaya pendidikan seorang dokter yang teramat mahal, faktor kemampuan otak pun rasanya tidak terlalu banyak yang memadai. Ya! Jadi dokter itu pintarnya harus sangat amat pintar, jika tidak pasti akan banyak terjadi malpraktik di dunia kedokteran. Alih-alih menjadi sembuh, para pasien bisa saja mendapat penyakit baru atau bahkan meninggal.
Omong-omong tentang malpraktik, pasti kalian sudah mengetahui tentang berita yang menyebar baru-baru ini. Beberapa dokter diadili karena diduga melakukan malpraktik yang menyebabkan pasiennya meninggal dan karena hal ini membuat ribuan dokter melakukan demo serta mogok kerja selama sehari. Selama para dokter itu melakukan mogok kerja, praktis banyak orang sakit terlantar. Bayangkan jika saat itu ada seorang pasien dalam keadaan kritis dan sangat memerlukan bantuan dokter. Apakah para dokter itu masih tidak ingin dikatakan malpraktik? Yah, pada dasarnya dokter pun manusia yang tentunya tidak memiliki kesempurnaan apalagi mampu membuat seorang pasien yang sakit dapat sembuh seketika atau orang yang meninggal dapat hidup kembali. Mereka pun tidak memiliki kemampuan untuk membuat pasien sekarat menjadi hidup apabila memang sudah ditakdirkan untuk meninggal. Hal inilah yang membuat meraka merasa tidak adil dengan adanya hukuman pidana atas pelayanannya yang gagal. Namun, dibalik semua itu apakah bijak ketika solidaritas mereka ditunjukkan dengan mengorbankan kepentingan orang banyak? Seolah kepentingannya adalah prioritas, padahal seorang dokter pada dasarnya adalah pelayan masyarakat. Entahlah...
Jika kita tengok kembali perihal pelayanan terhadap masyarakat, mungkin bisa dikatakan pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum bisa dikatakan baik. Bisa dilihat dari banyaknya berita tentang masyarakat tidak mampu yang kesulitan berobat atau kesulitan ditangani oleh pihak rumah sakit. Kemudian ada pula masyarakat tidak mampu yang memiliki kartu sehat dan bisa digunakan untuk meringankan biaya, tapi karena berbagai macam birokrasi menjadi terlambat ditangani. Bisa dikatakan ada beribu macam kasus tentang pelayanan kesehatan yang buruk sering terjadi di Indonesia ini, baik itu karena faktor penanganan dokter, perawat, administrasi rumah sakit, dan sebagainya, seperti salah satu yang aku alami ini.
“Hamil lagi saja ya, Mbak..” kata dokter kandungan yang menanganiku kala itu. Aku cuma bisa diam dan pasrah ketika akhirnya aku tidak bisa mempertahankan janin yang baru berusia 6 minggu itu karena adanya virus Toxoplasma. Dokter memutuskan untuk melakukan kuretase pada janinku dan aku harus berurusan dengan rumah sakit kurang lebih selama 2 malam 3 hari. Mungkin itu adalah pengalaman pertamaku ada di rumah sakit dengan infus dan ruang operasi. Aku tidak ingat pernah ada di rumah sakit, kecuali menjenguk teman atau saudara yang sakit.
            Buatku yang sangat awam dengan pelayanan rumah sakit apalagi diopname, yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan ikut saja apa kata perawat yang menanganiku. Nah, ada sedikit kejengkelan ketika aku akan masuk ke kamar inap. Kebetulan kamar inap sedang penuh saat itu, jadi aku diungsikan ke ruang penanganan persalinan (kurasa itu namanya). Setelah turun dari kursi roda, aku dibiarkan masuk sendiri ke ruangan yang sepi orang itu tanpa diberi petunjuk aku tidur di mana dan si perawat itu melenggang saja. Karena kebingungan aku asal tidur di samping bed salah satu pasien yang kebetulan baru saja melahirkan. Tidak berapa lama ada perawat lain datang memarahiku, “Ibu tidak boleh tidur di situ. Pindah di sini lho..” sambil menunjuk deretan bed yang ada di seberang. Setelah aku pindah, si perawat menanyakan identitasku dengan sedikit tidak ramah kurasa. Entahlah... Karena menurutku seorang perawat itu seharusnya murah senyum dan ramah dengan pasiennya, tidak dengan muka datar dan tak peduli.
            Namun, pada dasarnya tidak semua perawat seperti yang kuceritakan di atas. Nyatanya, setelah itu ada perawat lain yang datang dan menanganiku dengan sabar. Menanyakan keadaan pendarahanku, memeriksa dengan mengatakan “maaf” terlebih dahulu kepadaku, dan menyelimutiku. Mungkin hal ini merupakan pengaruh sifat personal si perawat atau bisa juga si perawat tak ramah itu punya masalah di luar tugas keperawatannya. Namun, seharusnya itu tidak jadi alasan, bukan? Yaah, semoga saja alasan pertama yang masuk akal karena jika para petugas rumah sakit selalu membawa masalahnya ke rumah sakit betapa kasihan para pasiennya.
Setelah operasi, akhirnya aku dipindah ke kamar inap yang kebetulan saat itu hanya ada tersisa kamar kelas 3. Sebelumnya suami memang menginginkan aku di kamar kelas 2 saja, tapi yang tersisa hanya kamar itu mau apa lagi. Aku harus berbagi kamar dengan ibu-ibu lain yang baru saja melahirkan atau operasi. Pusing juga harus tidur dengan bayi yang terus menangis sepanjang malam dan tangisannya begitu menggelegar, tapi pada dasarnya aku cukup sedih ketika melihat si bayi kala itu. Ya, karena aku tidak bisa segembira si ibu.
Selama recovery  di kamar itu, aku pun menemukan ibu-ibu hamil lainnya yang ‘disiksa’ karena sering muntah dan sama sekali tidak bisa makan maupun minum. Kasihan sekali melihatnya. Untuk kasus ini pun aku sempat merasa ingin komplain dengan para perawat, karena saat infus si ibu ini sudah mulai habis mereka tidak segera menggantinya. Setelah beberapa lama, akhirnya infus itu diganti tapi berbeda warna. Awalnya infus yang diberikan berwarna pink karena memang khusus untuk pasien dengan kasus si ibu tadi, tapi oleh perawat diganti dengan infus yang berwarna putih. Beberapa saat kemudian datang perawat lain melihat infus si ibu yang berbeda dan dengan sedikit menggerutu si perawat mengganti infus menjadi yang berwarna merah kembali. Kami para pasien hanya bisa diam melongo, karena memang kami awam tentang itu. Adanya keterlambatan dan simpang siur pelayanan pasien yang seperti itu seharusnya tidak terjadi dengan jelas di depan para pasien. Entah alasannya apa, tapi menurutku setidaknya mereka menyampaikan alasan keterlambatan pelayanan pasien jika memang stok infus sedang habis misalnya.
Selain pengalaman itu, aku juga sedikit kecewa ketika aku harus kontrol pasca kuretase. Untuk dapat menemui sang dokter aku menyempatkan diri datang lebih pagi dari jadwal buka rumah sakit dan praktik si dokter. Tapi, nyatanya aku pun masih harus antri menunggu lama, kira-kira hampir 4 jam, karena si dokter harus mengikuti acara halal bi halal rumah sakit (kebetulan saat itu adalah hari masuk pertama setelah libur lebaran) dan mengoperasi caesar salah satu pasiennya. Aku cukup kesal saat itu, karena surat kontrol yang diberikan padaku setelah aku pulang opname menyebutkan aku harus datang kontrol pasca operasi pada tanggal yang disebutkan dan tepat waktu pukul 08.00. Setelah waktunya giliranku, perutku di-USG dan hanya ditanyai apakah sudah berhenti pendarahan lalu sudah. Jika saja aku tidak bertanya kembali tentang Toxoplasma-ku, mungkin aku pulang tidak membawa apa-apa (saat itu akhirnya aku dibekali 3 strip Spiramycin untuk pengobatan Tooplasma selama 1 bulan).  Sebelumnya juga ada kekesalan lain karena antrianku diserobot oleh pasien yang kebetulan kenalan dari salah satu karyawan di rumah sakit itu. Betapa Indonesia tidak bisa mengubah tradisinya itu. Pfiuhh...
Beberapa pengalamanku di atas mungkin adalah salah satu pemikiran para awam yang kurang mengenal dunia perawatan dan pelayanan kesehatan. Namun, kesemua kasus itu mungkin juga bisa dilogika. Jika saja ada salah penanganan pasien, siapa lagi yang seharusnya bertanggung jawab jika bukan pihak rumah sakit. Kasus-kasus pelayanan kesehatan yang buruk saat ini memang tidak seharusnya terjadi jika saja masing-masing dapat memenuhi tanggung jawabnya sesuai yang telah ditugaskan. Seorang dokter, meskipun bagaimana adalah pelayan masyarakat yang tidak bisa sembarangan menangani pasien-pasiennya. Begitu pula perawat yang bertugas membantu pekerjaan para dokter tidak bisa menganggap remeh tugas yang diberikan padanya. Membayangkan para pasien yang merasa bahagia dan puas ketika ditangani dokter dan perawatnya sama saja memberi harapan mereka untuk mempercayakan putra-putrinya agar kelak juga dapat melayani pasien sepert halnya dokter dan perawat yang melayani mereka.



Komentar

  1. Ngeselin yah kalo perawatnya gak sabaran dan judes... Padahal yang mereka hadapi itu orang sakit, lho... Apalagi sama orang sehat yah, bisa senggol-bacok itu -_________-"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer