Aroma Laut dan Matahari Terbit





Entah sudah berapa lama Kinan termenung di sini, menatap ombak dan terus memainkan pasir yang didudukinya tanpa tahu hendak diapakan lagi setelah begitu banyak bangunan pasir dibuat di depannya.
“Arrggghh!!! Ternyata aku begitu menyedihkan. Bangun di kala Subuh hanya untuk melarikan diri ke pantai dan membuat gundukan pasir tak bermakna lalu termenung tak mengerti,” gumam Kinan kesal. Pantai ini mulai ramai karena matahari sudah menampakkan diri dan tentunya mulai memberi warna pada langit, tapi nihil memberikan warna untuknya.
Kriiingg...!!! Kriiingg...!!!
“Iya, halo Bun? Kinan di pantai, Bun. Iya, sebentar lagi pulang.” Kinan menutup ponselnya dengan lunglai. Mulai berdiri dan berjalan gontai.
Bunda bukan orang yang bisa diajak berkompromi mengenai apa-apa yang sudah diucapkan. Jika Bunda ingin bertemu anaknya segera, maka batang hidung anaknya harus sudah terlihat ketika dicari meskipun saat itu sedang dalam posisi berjauhan di luar kota sekali pun. Ya, karena Bunda adalah seorang single parent sejak Kinan berumur 10 tahun, jadi beliau pun menjadi terlalu over protektif pada Kinan. Bahkan sampai sekarang ini Kinan sudah menginjak usia 25 tahun. Meskipun begitu, Kinan tidak keberatan dengan perlakuan Bunda yang seperti itu, karena baginya Bunda adalah segalanya sejak Ayah meninggal. Bunda lah yang menjadi tulang punggung keluarga sejak Kinan kecil. Bunda tidak pernah memikirkan untuk menikah lagi, meski beberapa tahun lalu Kinan pernah memutuskan untuk mengizinkannya menikah lagi. Namun, Bunda dengan halus menolaknya. Baginya, Ayah adalah belahan jiwanya hingga maut memisahkan.
“Kamu ke mana saja, Kinan? Pagi-pagi Bunda cari di kamar, lakok udah ngilang,” tanya Bunda sesampainya Kinan di rumah.
“Kinan Cuma pergi sebentar ke pantai, Bun. Lagian juga cuma dekat sini. Ada apa sih, Bun?” 
Bunda tersenyum dan mendekati Kinan, “Bunda mau mengajakmu jalan-jalan.”
“Jalan-jalan ke mana? Ah, Bunda ini tumben banget ngajakin Kinan jalan-jalan,” Kinan ngeloyor ke dapur mengambil apel di dalam lemari es.
“Bunda mau ketemuan sama teman lama, Nan. Temani Bunda, ya!” Bunda nyengir ke arah Kinan, membujuk anak semata wayangnya itu.
“Lho, jadi Bunda mau ngajak Kinan ke acara ibu-ibu gitu? Yaa ampun Bunda... Kinan bisa mati gaya dong kalau ikut acara begituan...”
“Yee, ini Cuma ketemuan biasa kok, Nan. Cuma Bunda sama teman Bunda. Oya, mungkin juga sama anaknya karena katanya dia punya anak seumuran kamu. Siapa tahu, kalian bisa jadi teman dekat,” Bunda mengerling pada Kinan.
Sudah beberapa tahun ini Bunda selalu berusaha mencarikan Kinan pasangan. Ini karena sejak Kinan putus dengan pacarnya 5 tahun lalu, Bunda merasa Kinan menjadi seseorang yang sangat berbeda. Kinan tidak seceria seperti 5 tahun yang lalu, tidak bersemangat dan menjadi sangat tertutup. Bunda sangat kehilangan Kinan-nya itu, jadi diusahakanlah berbagai cara untuk menjodohkan Kinan dengan beberapa anak teman Bunda yang pada akhirnya akan berakhir nihil. Bagi Kinan, tidak ada lagi yang bisa membuatnya jatuh cinta sampai seseorang datang padanya dan membuatnya tersenyum. Kekecewaannya pada Arno membuatnya tidak bisa percaya dengan laki-laki, baginya semua laki-laki adalah buaya darat.
***
            Setiap acara pertemuan yang diusahakan Bunda gagal, esok paginya Kinan pasti menuju pantai. Jarak pantai dari rumah Kinan memang tidak jauh, hanya sekitar 1 kilometer saja. Jadi, Kinan bisa dengan mudah pergi ke pantai kapan saja. Termasuk di saat Subuh. Setelah shalat Subuh, Kinan pasti akan segera beranjak ke pantai tanpa sepengetahuan Bunda. Menghirup aroma pantai di waktu pagi adalah kesenangan yang tidak bisa diungkapkan. Kinan sudah menyukai pantai sejak kecil, sejak ayahnya sering mengajak ke pantai untuk melihat matahari. Agak aneh memang, tapi bagi Ayah Kinan matahari dan laut di pagi hari itu menakjubkan.
Tapi tidak dengan pagi ini. Pagi di mana Kinan kembali menemui laut dan matahari paginya. Lagi-lagi Kinan tidak dapat membuat Bundanya gembira, karena Kinan menolak kembali ketika dikenalkan Bundanya dengan anak temannya. Kinan tidak pernah merasa pertemuan yang direncanakan itu adalah sesuatu yang bisa membuatnya bertemu lelaki yang diinginkannya. Sejak dikecewakan Arno, Kinan bertekad tidak akan mengenal laki-laki. Kinan hanya akan menunggu lelaki yang tepat itu, lelaki yang tiba-tiba bisa membuatnya tersenyum.
“Apa kamu selalu seperti ini ketika ke pantai?” Kinan terkejut ketika ada seorang laki-laki berdiri di depannya.
Sorry... Rasanya kita pernah ketemu, ya?” kata laki-laki itu kembali.
Sorry juga, aku gak pernah merasa pernah ketemu kamu,” jawab Kinan cuek.
“Hehe.. mungkin cuma perasaanku aja. Oya, kamu gak jawab pertanyaanku tadi?”
“Pertanyaan yang mana? Iya, aku memang selalu seperti ini jika ke pantai. Ada masalah?” Kinan menatap laki-laki itu tanpa beranjak dari duduknya.
“Hmm... jutek juga ya kamu ini?” jawab laki-laki itu sambil tersenyum.
“Oya, aku Bagas. Kebetulan aku suka pantai ini dan setiap ke pantai aku selalu melihat kamu datang di pagi hari dan dengan wajah bangun tidur itu kamu selalu duduk memandang laut sambil mencoret-coret pasir atau membangunnya menjadi bangunan-bangunan tak jelas. Apa memang selalu seperti itu, ya?” laki-laki itu kemudian duduk di sebelah Kinan tanpa memedulikan wajah tak sukanya.
Kinan terdiam  memandangi laki-laki di sebelahnya. Laki-laki ini cukup tampan dengan kaca matanya, tapi Kinan tetap merasa terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Bagas tersenyum kembali seolah mengulang pertanyaanya pada Kinan.
“Apakah jawabanku itu penting untukmu?” tanya Kinan.
“Hhmm... kupikir penting karena aku tidak terlalu suka melihat perempuan cemberut ketika aku sedang menikmati aroma laut dan matahari di pagi hari. Apalagi perempuan manis sepertimu.”
Entah kenapa, Kinan lalu teringat Ayahnya.


                                                                                       Oktober 2013



Komentar

Postingan Populer