Langit, Biru, dan Andromeda
Langit, Biru, dan Andromeda
Oleh: poetrie dee
Mei 2011, 05.00,
pantai Parangtritis
Biru terpaku menatap lautan yg membentang
di depannya. Memikirkan sesuatu yang tak ia tahu jawabannya. Memikirkan keadaan
ini, keadaan di mana ia sedang terduduk di pantai dengan seorang laki-laki yang
bernama Langit Candra di kala subuh.
“Kamu lagi mikir apa, Nduk?” Langit mulai heran
dengan diamnya Biru semenjak tiba di pantai
“Ndak Mas,
aku ‘gak mikir apa-apa,” Biru tersenyum pada Langit
BIRU KINANTHI
25 Januari 2010
“Huuft,akhirnya..” gumamku ketika ada juga tempat
duduk kosong di kereta ekonomi ini.
Pagi ini aku berangkat menuju Surabaya,
menuju kampung halamanku setelah sukses menyelesaikan ujian pendadaran
skripsiku beberapa hari yang lalu. Ujian yang menentukan lulus tidaknya aku di
Universitas yang telah menempaku selama 4 tahun ini. Pfiuuh..
Sesampainya di kursi tempatku duduk, aku
langsung tertidur mendekap ranselku. Tanpa menyadari ada seorang laki-laki
menatapku sambil tersenyum di depanku.
“Mbaknya mau turun di mana?” seorang
bapak separuh baya tiba-tiba menyapaku sesaat setelah aku terbangun dari
tidurku
“Mau pulang ke Surabaya Pak,” jawabku
sambil tersenyum dan mata masih sedikit mengantuk
“Oh, asli Surabaya to Mbak? Naik dari
mana tadi?”
“Iya pak, tadi naik dari Jogja. Bapak
mau ke mana ini?”
“Oh,saya mau ke Banyuwangi mbak
menjenguk cucu. Mbak kuliah ya di Jogja? Kuliah di mana mbak?” tanya bapak itu
lagi.
“Oh, saya kuliah di (UGM) Universitas
Gadjah Mada Pak.”
“Jurusan apa? Wah, hebat ya bisa kuliah
di UGM. Tidak sembarang orang lho yang bisa masuk situ. Mbaknya pasti pinter
nih.”
“Jurusan Sastra Indonesia Pak. Hehe,
Alhamdulillah Pak,” jawabku singkat sambil tersenyum
Setelah beberapa obrolan basa-basi dari
bapak-bapak tadi, tiba-tiba seseorang di depanku menyapa. Gantengnya mas ini
batinku dalam hati. Lumayan buat vitamin di kereta ekonomi yang penuh sesak dan
riuh ini. Hehe..
“Mbaknya kuliah di UGM juga to? Saya
juga dari UGM tapi di Fisipol,” Ia memulai pembicaraan
“Masnya jurusan apa? Temenku ada juga
yang di Fisipol lho,” jawabku
“Hubungan Internasional. Temannya
jurusan apa?”
“Wah sama, temenku juga di HI. Mas kenal
sama Yusri atau Adit ndak?”
“Hmm, angkatan berapa ya? Saya angkatan
2002 soalnya, mungkin tahu tapi tidak kenal. Hehe..”
“Oalah, berarti Mas udah lulus ya?”
“Baru besok Februari wisuda. Hehe..”
“Lho iya to?” aku mengangguk-angguk
sambil tersenyum
Dalam hati aku menggumam, “Nih orang ternyata udah
tua tho, tampangnya masih seumuranku. Hehe..”
Setelah berbasa-basi aku mulai mengantuk
lagi dan tertidur mendekap ranselku. Entah apa yang ada di pikiran Langit
tentangku, lelaki yang baru saja aku kenal itu. Aku memang tidak pernah peduli
dengan orang sekitarku setiap aku tertidur di kereta. Sesampainya aku di
stasiun Gubeng, aku sudah begitu merindukan si paijo-ku.
Ibu sudah menyambut kedatanganku dengan
masakan kesukaanku, sup ayam plus empek-empek ala ibuku. Sedaap, ‘gak ada
tandingannya. Home sweet home lah.
“Bu, aku tadi ketemu cowok ganteng lho,hmm..”
ujarku setelah selesai makan
“Di mana Nduk? Kenalan ndak? Wah rugi kalo ndak kenalan.” Ibuku benar-benar gaul. Tahu aja musti diapain kalo
ada cowok ganteng. That’s my mom. Haha..
“Di kereta Bu. Anak UGM juga tapi cuma ngobrol
basa-basi saja kok Bu. Aku ‘kan setia sama si Paijo.”
“Ah, kamu ini. Si paijo saja belum tentu
setia sama kamu Bi. Kamu sudah dengar ‘kan bagaimana dia di mata orang-orang?
Dia juga seumuran sama kamu Nduk, ndak bisa ngémong.
Kamu juga sering dicuekin to, dibikin nangis juga.”
Aku terdiam, Ibu memang benar tentang
Zain. Tapi, aku sudah memperjuangkan hubungan kami selama lebih dari 2,5 tahun.
Aku ‘gak pengen kesetiaanku selama ini sia-sia dan aku begitu menyayanginya.
“Ah, namanya orang pasti berubah Bu. Ndak mungkin akan terus jelek to. Positif thinking saja Bu, doakan Biru. “
Ibu mengelus kepalaku, “ Iya Nduk, Ibu
tahu. Tapi, Ibu pengen kamu itu nantinya bahagia. Ndak terus-terusan nangis.”
“Iya Bu, aku baik-baik saja kok. Aku
masih kuat menghadapi Zain.” Aku tersenyum memandangi Ibuku. Ibu yang begitu
menyayangiku karena hanya aku satu-satunya yang dia punya setelah Bapak tidak
ada dua tahun lalu.
***
Setelah dua minggu di rumah, aku kembali
lagi ke Jogja untuk mengurus keperluan revisi skripsiku. Andai ujian
pendadaranku kemarin bukan tanggal 20, mungkin seharusnya aku sudah bisa
diwisuda Februari ini. Tapi, yah tidak apalah. Waktu tiga bulan sebelum periode
wisuda selanjutnya, aku gunakan untuk revisi skripsiku sembari menunggu
teman-temanku yang akan menyusulku hengkang dari universitas ini.
Setelah wira-wiri mengurus ini-itu dan
bertemu dosen pembimbingku. Aku kelelahan di depan ruang jurusan yang kebetulan
mengahadap ke taman dekat jalan. Tiba-tiba aku lihat sosok yang rasanya pernah
aku kenal. Berjalan ke arahku sambil senyum-senyum.
“Hai, apa kabar??” sapanya sembari
menjabat tanganku
“Hai, mas Langit. Kok masih ingat aku? Alhamdulillah
baik Mas. Mau ke mana nih?”
“Mau ke kampus, ngurus keperluan buat
wisuda besok. Kebetulan lihat kamu, mampir bentar deh.”
“Hmm.. bulan ini ya wisudanya? Harusnya
aku juga bulan ini tapi ndak bisa.”
“Ya ndak
pa-pa to, yang penting sudah lulus. Udah dulu ya, aku ke kampus dulu. Boleh
minta nomor hapenya?”
“Oh, iya-iya Mas ndak pa-pa. Ini nomor handphone-ku,di
miscall saja ya.”
“Ok, makasih. Kapan-kapan ngobrol lagi
ya.” Langit menjabat tanganku dan berlalu. Aku hanya tersenyum melihatnya pergi
sembari berpikir kenapa dia masih ingat aku, padahal aku sudah tidak terlalu
mengingatnya. Kebiasaan di kereta kalau ada yang ngajak kenalan biasanya ya
sebatas teman ngobrol di kereta aja. Bahkan ada yang minta nomor handphone-ku, malah aku kasih nomorku
yang sudah ‘gak aktif. Alasannya handphone-ku
lagi ‘gak aktif. Hehe..
LANGIT CANDRA
05.00, pantai
Parangtritis
Langit terpaku menatap lautan yang
membentang di hadapannya. Termenung menyimak deburan ombak dan meleburkan
dirinya dalam dinginnya pagi. Meraba apa yang sebenarnya selalu mengusik
pikirannya selama ini. Pikirannya yang selalu merasa asing ketika berada di
sisi Duma. Perempuan yang sudah sejak 1 tahun ini menjadi kekasihnya. Entah
kenapa dia merasa Duma begitu jauh darinya, begitu asing untuknya. Meski ia
telah mencoba untuk mendekat, nyatanya ia hanya menemukan hampa.
Sampai pada beberapa hari yang lalu,
ketika ia sengaja bertandang ke rumah Duma di Surabaya. Di dalam kereta ia
bertemu seorang perempuan lucu, yang mukanya selalu mengantuk. Bahkan setelah
mendapat tempat duduk, ia tak sungkan atau malu untuk langsung tertidur
mendekap ranselnya. Langit merasa ada sesuatu pada perempuan itu. Sesuatu yang
lama ia cari, tapi ia pun belum tahu apa itu. Ia hanya senang sesekali
memandang perempuan itu tidur dengan nyenyaknya. Tak sedikit pun terganggu
dengan suara bising dan riuhnya kereta ekonomi yang penuh sesak dengan
penumpang dan para pedagang tentunya. Ia hanya sesekali membuka mata untuk berpindah
posisi tidur, benar-benar lucu dan manis.
“Tahu ndak Nak. Mbaknya ini manis
banget lho, coba kalau dia belum punya pacar. Diajak kenalan trus dijadikan
pacar saja Nak,” seloroh bapak-bapak separuh baya yang beruntung duduk
bersebelahan dengan perempuan itu.
“Aku pun merasa beruntung bisa duduk
berhadapan dengan perempuan itu, karena dengan begitu aku bisa dengan jelas
melihat wajah lucunya,” batin Langit sambil tersenyum pada bapak-bapak itu
“Ups, dia terbangun. Apakah karena kami
mengganggunya?” Langit tetap diam meski perempuan itu terbangun dan mulai
mengobrol dengan bapak-bapak di sebelahnya. Ia baru tahu ternyata mereka satu
almamater, hanya beda fakultas dan jurusan.
Setelah ia selesai mengobrol dengan
bapak-bapak itu, Langit pun memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Biru
namanya.
“Hmmm, lucu juga namanya,” gumam Langit dalam hati
Setelah mereka turun dari kereta, mereka
berpisah di stasiun. Langit melihatnya dijemput seorang laki-laki yang ia tahu
pasti kekasih Biru. Langit lalu melangkah ke luar stasiun dengan perasaan yang
aneh. Tapi, ia tidak ingin peduli. Ia ingin bertemu Duma saat ini. Namun, Biru selalu
berkeliaran di pikirannya. Hingga saat ini.
BIRU KINANTHI
“Bi, apa yang sebenarnya kamu tunggu
dari Zain? Apa yang membuatmu begitu jatuh cinta padanya, padahal ia selalu
bersikap tidak memperdulikanmu. Bahkan ia tidak datang di acara wisudamu Bi. Acara
yang begitu penting untukmu,” celotehan Ibu semakin membuatku pening. Aku tidak
ingin membahas semua hal yang tak enak tentang Zain. Aku hanya ingin
mencintainya saja tanpa perlu mendengarkan apa yang orang katakan tentangnya.
Zain menyayangiku, hanya ia memiliki caranya sendiri. Tapi, aku pun tidak
menampik fakta bahwa sebenarnya aku ragu padanya. Meski telah 2,5 tahun aku
bersamanya, aku masih ragu padanya. Heh, bodohnya aku. Bodohnya Biru Kinanthi.
Bodoh.
November 2010
Aku menahan basah dari air mataku.
Menahannya turun membasahi pipiku. Aku memilih ke luar menembus hujan untuk
menyembunyikan basahnya daripada harus membiarkannya turun dan terlihat semua
orang. Aku ingin lari. Lari menembus hujan. Zain pergi meninggalkanku setelah semua
yang aku lakukan untuknya. Zain pergi meninggalkanku dalam tangis.
LANGIT CANDRA
Desember 2010
“Maafkan aku Mas. Aku tahu aku salah, tapi
tolong jangan tinggalkan aku,” isak Duma sambil memegang erat lengan Langit.
Langit hanya diam mematung tanpa sedikit pun melihat wajah Duma yang telah
benar-benar menangis. Seketika lonceng stasiun berbunyi, tanda kereta yang akan
dinaiki Langit tiba. Langit pun pergi meninggalkan Duma yang tetap menangis di
stasiun itu. Langit tak perduli lagi.
Langit ingat pagi ini ia beranjak
menaiki kereta menuju Surabaya hanya untuk menemui Duma. Ia ingin memberikan
kejutan pada kekasihnya itu dengan datang tanpa memberikan kabar terlebih
dahulu. Namun sesampainya di Surabaya, Langit melihat Duma sedang bersama
laki-laki lain. Betapa terkejut dan marahnya Langit saat itu. Tapi, ia sembunyikan
amarahnya lalu berlalu ketika Duma akhirnya tanpa sengaja melihat Langit
berdiri terpaku menatapnya dari kejauhan. Langit beranjak pergi dengan
menyisakan kegalauan dan amarah. Ia pun akhirnya menemukan jawaban dari
pertanyaannya selama ini. Tanpa pikir panjang Langit pun kembali ke stasiun dan
memesan tiket pulang kembali ke Yogyakarta. Entah kenapa tiba-tiba nama Biru
terlintas di benaknya.
Sunday,
08.00 05-Dec 2010
“Assalamu’alaikum
Nduk, apa kabar?”
Sunday, 08.03 05-Dec 2010
“Wa’alaikumsalam, alhamdulillah sae Mas. Mas Langit
sendiri apa kabar?”
Sunday, 08.05 05-Dec 2010
“Aku sedang di kereta menuju Jogja nih. Kamu lagi di mana Nduk? Surabaya atau Jogja?”
Sunday, 08.07 05-Dec 2010
“Wah, aku juga sedang di kereta menuju Jogja. Mas naik kereta apa?”
Sunday, 08.10 05-Dec 2010
“Aku
naik Pasundan Nduk.”
Sunday, 08.12 05-Dec 2010
“Aku juga naik Pasundan Mas, aku di gerbong 5. Memangnya
mas Langit dari Surabaya juga?”
Tanpa
disadari, tiba-tiba Langit sudah ada di sebelah Biru. Tersenyum melihat Biru, yang
terheran-heran melihat Langit. Entah kenapa Langit begitu gembira bertemu Biru,
padahal baru saja ia menghadapi kejadian luar biasa yang membuat hatinya sakit
dan marah. Langit dan Biru menghabiskan waktu mereka di kereta dengan terus
mengobrol. Biru pun tak sadar jika ia tidak melakukan tradisi tidurnya di
kereta seperti biasanya. Entah kenapa, Biru bahkan tidak mengantuk sama sekali.
Ia begitu terlarut dengan cerita-cerita dan obrolannya bersama Langit hingga
akhirnya kereta mereka sampai di kota tujuan, Yogyakarta.
LANGIT-BIRU
21 Mei 2011, 05.00 pantai Parangtritis
Semburat
pagi hari di pantai Parangritis begitu menyejukkan hati. Di dalam kesejukan
itu, ada dua hati manusia sedang begitu menikmati keindahan laut dan ombak yang
terbentang di depan mereka. Keduanya terdiam merenung dan berkutat dengan
pikiran masing-masing. Langit menoleh menatap Biru dalam diamnya. Ia tersenyum.
Sejak
perpisahannya dengan Zain, Biru amat sangat terpuruk. Namun, entah kenapa pertemuannya
dengan Langit kali ini terasa begitu menyejukkan. Tapi ia tak ingin mengusik
pikiran-pikirannya dengan berbagai pertanyaan yang bahkan tak ingin ia tahu. Ia
hanya ingin melupakan Zain dengan memandang lautan beserta deburan ombaknya.
Biru tidak menyangka jika Langit juga menyukai pantai di pagi hari dan ketika
Langit mengajaknya ke pantai pagi ini setelah subuh, tanpa pikir panjang ia
langsung mengiyakan ajakan Langit.
“Kamu
lagi mikir apa Nduk?” Langit mulai heran dengan diamnya Biru semenjak tiba di
pantai
“Ndak Mas, aku ‘gak mikir apa-apa,” Biru
tersenyum pada Langit
“Hmm,
aku tahu apa yang kamu pikirin. Kamu lagi mikirin aku ‘kan?? Hehe..” Langit
mulai mengajak Biru bercanda seperti biasanya dan selalu memamerkan gigi-gigi
tak beraturannya yang terlihat lucu tapi manis.
“Ngapain
mikirin Mas Langit?” elak Biru sembari menyembunyikan semburat merah di pipi chubby-nya
“Trus
nglamunin apa coba, kalo nggak nglamunin aku?? Hehe..”
“Nglamunin
ombak dan langit”
“Nah,
ngaku ‘kan kalo lagi ngalamunin aku…”
“Langit
di angkasa bukan mas Langit,” jawab Biru dengan wajah cemberut
Langit
tertawa melihat wajah Biru yang cemberut itu. Ia merasa lepas dan bahagia saat
itu. Begitu juga Biru yang dapat dengan mudah memperlihatkan senyumnya kembali
setelah beberapa bulan terpuruk karena Zain. Mereka tertawa dan terus tertawa
di bawah Langit biru dan lautan yang diiringi debur ombak.
ANDROMEDA BAGASKARA
Pantai Parangtritis, 25 Januari 2020
Langit biru di pantai Parangtritis
pagi ini begitu indahnya. Deburan ombak laut memberikan nuansa kesyahduan yang
tak dapat diungkapkan lagi dengan kata-kata. Meskipun pantai ini sudah tidak
terlalu indah karena banyak sampah berserakan di sudut-sudut pantai hasil dari
para wisatawan yang tidak bertanggungjawab, tapi tetap tidak membuat pantai
Parangtritis kehilangan pesonanya.
Duduk di atas gundukan pasir
sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun sedang asyik
bercengkrama. Sang anak dan si Ayah sibuk membuat istana pasir, sedangkan si
Ibu sibuk melihat Ayah dan anak tersebut berebut alat menggali pasir sembari
mengelus-elus perut buncitnya.
“
Bundaaaa..” sang anak berlari memeluk ibunya sembari merajuk
“Iya
Nak..” sang Ibu mengelus kepala anak lelakinya
“Ayah
tu, masak ‘gak mau kalah sama Meda. Istana pasirnya Meda ‘kan dah mau selesai
tapi gara-gara digangguin sama Ayah jadi rusak deh,” sang Ayah tertawa
menghampiri Ibu dan anak tersebut.
“Maaf
Meda, Ayah ‘kan ‘gak sengaja nyenggol istananya Meda. Ayah beliin es krim dech
buat bayar kesalahan. Gimana??”
Seketika
Andromeda tersenyum dan berkacak pinggang. “Janji lho Yah, awas kalo bohong.
Meda bilangin Bunda biar dijewer,hmm..” Meda memasang wajah sangar.
“Iya,
janji. Ayah takut kalo dijewer sama Bunda.” Langit mencium kening Biru, istrinya
yang sedang mengandung anak kedua mereka.
“Oke,
udah selesai ‘kan marah-marahnya? Sekarang bantuin Bunda berdiri, Bunda mau
nyiapin makanan buat kalian nih.”
“Ayah
gendong aja ya Bunda”
“Meda
aja yang bantuin Bunda,” dengan cepat Meda meraih tangan Bundanya dan
membantunya berdiri
“Wah,
anak Ayah udah gede nih sekarang.” Langit menepuk-nepuk bahu anak laki-lakinya
itu dengan bangga
“Iya
dong Yah, ‘kan Meda mau punya adik cewek. Jadi, harus bisa jagain Bunda sama si
dedek”
“Dari
mana kamu tahu kalo si dedek cewek?” Langit terheran-heran menatap Biru yang
tersenyum-senyum dan berbisik, “Maaf sayang, aku baru tahu kemarin dan belum
sempat bilang ke kamu.”
“Bunda
yang bilang. Ayah, ‘gak tahu ya. Kasihan deh..” Meda tertawa berlari menghindar
dari kejaran Langit, ayahnya.
Yogyakarta,
00.11
Tisu... mana tisu... :'(
BalasHapusEmang butuh tisu beneran ye?
BalasHapus